Laporan Hasil Studi Zona Mendengar Jiwa: Sebanyak 34% Pelajar SMA Jakarta Terindikasi Gangguan Mental Emosional
Yayasan BUMN
Jakarta, 17 Desember 2024 – Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute bekerja sama dengan Health Collaborative Center (HCC) mengungkapkan fakta yang memprihatinkan tentang kesehatan mental remaja di Jakarta. Studi ini menunjukkan bahwa 34% pelajar SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental, dengan 3 dari 10 pelajar sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Penelitian ini melibatkan pelajar SMA di Jakarta yang dipimpin oleh tim ahli, yaitu Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, Bunga Pelangi, dan Prof.Nila F. Moeloek, yang juga mendapat dukungan dari Fokus Kesehatan Indonesia (FKI).
Hasil penelitian ini menjadi dasar pengembangan Program Zona Mendengar Jiwa yang dirancang untuk membangun support system, kesadaran, memberikan edukasi, serta menyediakan intervensi berbasis data terkait kesehatan mental remaja khususnya di institusi pendidikan. Program ini mengintegrasikan pendekatan ilmiah dan inovasi sosial untuk menciptakan dampak nyata, terutama dalam mendukung kesehatan mental generasi muda. Program mendengar jiwa memiliki Mendengar Jiwa Institute sebagai inisiatif riset pada kesehatan mental yang berkomitmen untuk menjadi pusat penelitian dan pengembangan yang berfokus pada kesehatan khususnya pada kelompok remaja.
Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi selaku ketua tim peneliti HCC mengatakan “Data temuan 34% risiko gangguan mental emosional ini merupakan indikasi gangguan kesehatan jiwa remaja di kota besar seperti Jakarta dan dapat dijadikan angka prevalensi, namun yang lebih penting adalah hasil skrining ini menggambarkan indikasi gangguan emosional dan kesehatan mental pelajar SMA di Jakarta. Ini merupakan risiko yang harus dianalisis lebih mendalam, sebab data temuan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan data atau bahkan hipotesis kajian-kajian sebelumnya.”
Temuan lain dari penelitian ini juga menegaskan bahwa terdapat 10% pelajar SMA yang merasa rentan dengan kondisi status kesehatan mentalnya. Hal ini didasarkan dari perspektif dan pemaknaan remaja terkait risiko/kerentanan diri untuk mengalami masalah/gangguan kesehatan mental. Dr. Ray pun menambahkan bahwa kondisi ini menjadi tanda awas bahwa self-awareness atau aspek kesadaran diri remaja terhadap kesehatan mental sebenarnya masih rendah, meskipun sudah banyak informasi mendalam yang tersedia mengenai kesehatan mental.
Beberapa temuan penting terkait studi ini juga menyebutkan bahwa ketika berinteraksi di sekolah, para pelajar SMA yang menjadi responden pada penelitian ini juga cenderung lebih memilih teman untuk menjadi tempat konsultasi dan diskusi terkait masalah kesehatan mental mereka, bukan guru di sekolah. Bahkan hampir 7 dari 10 (67%) pelajar SMA terbukti tidak ingin mengunjungi ruang BK, terlebih untuk melakukan konseling, padahal guru sadar akan risiko gangguan emosional dan kesehatan jiwanya. Ini membuktikan bahwa peran teman sebagai rekan konseling sebaya atau peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi. Kondisi tersebut membuktikan bahwa peran teman sebagai teman konseling sebaya atau selanjutnya disebut peer counselor bisa menjadi salah satu agen mitigasi kesehatan mental di sekolah.
Prof. Nila Moeloek selaku Menteri Kesehatan 2014-2019 dan peneliti dari lembaga Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) menegaskan bahwa pendekatan ini harus dilakukan sangat hati-hati, “Pelajar usia remaja tetap merupakan individu yang masih perlu bimbingan, sehingga konsultasi antar sesama tetap harus disiasati ruang lingkup sebagai saluran bercerita saja dan bukan untuk dilakukan sebagai upaya mitigasi konseling dikarenakan nantinya akan ada kemungkinan potensi saran yang tidak akurat sebab mereka tetap harus dibimbing, dan ini juga merupakan tugas orang tua, keluarga, serta guru di sekolah.”
“Hasil penelitian ini diturunkan menjadi sebuah rekomendasi yang diberikan kepada institusi pendidikan yang bernama Zona Mendengar Jiwa yang harapannya dapat diterapkan oleh pihak sekolah terutama pelaksanaan skrining kesehatan mental, identifikasi masalah dan konseling berbasis sekolah, dan konseling sebaya serta integrasi layanan kesehatan dengan sekolah. Rangkaian ini sejalan dengan upaya negara dalam membentuk generasi muda yang sehat fisik dan mental dalam menyongsong Indonesia Emas 2045”, ujar Program Manager Health and Wellbeing Yayasan BUMN, Heru Komarudin.
Rekomendasi lainnya dari penelitian ini adalah diperlukan adanya upaya intervensi dan promosi kesehatan mental pada tingkat sekolah SMA secara terstruktur yang melibatkan elemen guru, teman sebaya, dan orang tua agar lingkungan sekolah menjadi ramah bagi kesehatan mental. Hal ini penting untuk dilakukan sebab sekolah berpeluang menjadi lokus mayor masalah kesehatan mental. Upaya rebranding ruang BK juga dapat menjadi solusi alternatif agar tidak terkesan menstigma pelajar yang hendak melakukan konseling di sana. Pelatihan berbasis keterampilan penting dilakukan untuk meningkatkan kapasitas guru dalam menjadi pendengar aktif di sekolah.
Untuk melihat hasil riset Zona Mendengar Jiwa, selengkapnyadisini.